Rabu, 15 April 2020

SAYYIDAH KHADIJAH


Suatu malam yang tenang, dengan embusan angin yang mengalir lembut dan langit bermandikan cahaya, Nabi Saw. keluar dari gua "Hira" dan berdiri. Dua bola matanya memandang hamparan padang pasir yang mahaluas.

Tiba-tiba Jibril menampakkan diri di hadapannya dan berkata, "Selamat atasmu, Muhammad. Aku Jibril dan engkau adalah utusan Allah kepada umat ini!"

Jibril kemudian merengkuh tubuh Nabi sambil mengatakan, "Bacalah!" "Aku tidak bisa membaca", jawab Muhammad Saw. "Bacalah!" katanya lagi. Muhammad Saw. mengulangi jawaban yang sama. Jibril lalu menarik dan mendekapnya sampai menyulitkan beliau saw bernapas.

Setelah dilepaskan, Jibril mengulangi lagi perintahnya dan dijawab dengan jawaban yang sama. Pada yang keempat kalinya Muhammad Saw. kemudian mengucapkan kalimat suci ini:

‏اقرأ باسم ربك الذي خلق (١) خلق الانسان من علق (٢) اقرأ وربك الاكرم (٣) الذي علم بالقلم (٤) علم الانسان مالم يعلم (٥)

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan (perantaraan) pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya" (al-'Alaq, 1-5)

Begitu selesai, Jibril menghilang entah kemana. Nabi Muhammad Saw. tetap merasa ketakutan. Tubuhnya menggigil. Keringat dingin mengalir deras dari pori-pori tubuhnya. Nabi bergegas pulang menemui Khadijah, istrinya, dengan hati diliputi galau, cemas, dan takut

Begitu tiba di rumah, beliau masuk kamar dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur

Beliau berkata
"Selimuti aku, selimuti aku, Sayangku,"

Khadijah segera menyelimuti seluruh tubuhnya rapat-rapat sambil menungguinya

Setelah rasa takutnya mereda, beliau menceritakan peristiwa yang dialaminya: Aku takut diriku, Sayang. Aku khawatir sekali. Aku khawatir akan hari-hari nanti". Dengan lembut sayyidah Khadijah mengatakan, membesarkan hatinya:

‏كلا. أبشر فوالله لا يخزيك الله أبدا، والله إنك لتصل الرحم وتصدق الحديث وتحمل الكل وتكسب المعدوم وتقري الضيف، وتعين على نوائب الحق.

"Tidak, Sayangku. Demi Allah, Dia tidak akan pernah merendahkanmu. Engkaulah orang yang akan mempersatukan dan mempersaudarakan umat manusia, memikul beban penderitaan orang lain, bekerja untuk mereka yang papa, menjamu tamu dan menolong orang-orang yang menderita demi kebenaran"

Betapa indahnya kata-kata Sayyidah Khadijah itu. Hati Nabi menjadi tenang dan damai. Khadijah dipeluknya dengan hangat dan penuh cinta. Kebersamaan dalam kehangatan saling mencinta antara Muhammad dan Khadijah itu sesungguhnya telah lama

Relasi antara mereka berjalan sebagaimana diharapkan oleh Al-Qur'an: saling membantu, saling menyayangi, dan saling mencintai. Tak ada dominasi satu atas yang lain. Selama bersama Khadijah, Nabi tak pernah punya pikiran sedikit pun untuk mencari perempuan lain

meski tradisi membolehkannya. Selama 28 tahun usia pernikahan mereka dan menghasilkan dua orang putra: Sayyid Qasim dan Sayyid Abdullah. Sayang keduanya meninggal dunia pada usia masih anak-anak.

Sayyid Qashim bin Muhammad. Rasulullah berkunyah dengan namanya, beliau disebut Abu al-Qashim (bapaknya Qashim). Qashim lahir sebelum masa kenabian dan wafat saat usia dua tahun.

Kedua, Sayyid Abdullah bin Muhammad. Abdullah dinamai juga dengan ath-Thayyib atau ath-Thahir. Ia dilahirkan pada masa kenabianLalu empat orang Putrinya
yang cantik:

Sayyidah Zainab, Sayyidah Ruqayyah, Sayyidah Ummi Kultsum, dan Sayyidah Fatimah al-Zahra.

Sayyidah Zainab ra menikah dengan anak bibinya dari jalur ibu, Halah binti Khuwailid, yang bernama Abu al-Ash bin al-Rabi’. Pernikahan ini berlangsung sebelum sang ayah diangkat menjadi rasul.

Zainab dan ketiga saudarinya masuk Islam sebagaimana ibunya Khadijah menerima Islam, akan tetapi sang suami, Abu al-Ash, tetap dalam agama jahiliyah. Hal ini menyebabkan Zainab tidak ikut hijrah ke Madinah bersama ayah dan saudari-saudarinya, karena ikatannya dengan sang suami.

Beberapa lama kemudian, barulah Zainab hijrah dari Mekah ke Madinah menyelamatkan agamanya dan berjumpa dengan sang ayah tercinta, lalu menyusullah suaminya, Abu al-Ash. Abu al-Ash pun mengucapkan dua kalimat syahadat dan memeluk agama mertua dan istrinya.

Keluarga kecil yang bahagia ini pun bersatu kembali dalam Islam dan iman. Tidak lama kebahagiaan tersebut berlangsung, pada tahun 8 H, Zainab wafat meninggalkan Abu al-Ash dan putri mereka Umamah.

Setelah itu, terkadang Umamah diasuh oleh kakeknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana dalam hadis disebutkan beliau menggendong cucunya, Umamah, ketika shalat, apabila beliau sujud, beliau meletakkan Umamah dari gendongannya.

Kedua, Ruqayyah binti Rasulullah.

Ruqayyah ra oleh Rasulullah di nikahkan dengan sahabat yang mulia Utsman bin Affan ra. Keduanya turut serta berhijrah ke Habasyah ketika musyrikin Mekah sudah sangat keterlaluan dalam menyiksa dan menyakiti orang-orang yang beriman.

Di Habasyah, pasangan yg mulia ini dianugerahi seorang putra yg dinamai Abdullah

Ruqayyah dan Utsman juga turut serta dalam hijrah yg kedua dari Mekah menuju Madinah. Ketika tinggal di Madinah mereka dihadapkan dengan ujian wafatnya putra tunggal mereka yg sudah berusia 6 tahun

Tidak lama kemudian, Ruqoyyah juga menderita sakit demam yang tinggi. Utsman bin Affan setia merawat istrinya dan senantiasa mengawasi keadaannya. Saat itu bersamaan dengan terjadinya Perang Badar, atas permintaan Rasulullah untuk mejaga putrinya

Utsman pun tidak bisa turut serta dalam perang ini. Wafatlah ruqayyah  bersamaan dengan kedatangan Zaid bin Haritsah yang mengabarkan kemenangan umat Islam di Badar.Ketiga, Ummu Kultsum

Setelah Ruqayyah wafat Rasulullah menikahkan Utsman dengan putrinya yg lain, Ummu Kultsum ra. Oleh karena itulah Utsman dijuluki dzu nurain (pemilik dua cahaya) karena menikahi dua putri Rasulullah,

sebuah keistimewaan yang tidak dimiliki sahabat lainnya.Utsman dan Ummu Kultsum bersama-sama membangun rumah tangga hingga wafatnya Ummu Kultsum pada bulan Sya’ban tahun 9 H. Keduanya tidak dianugerahi putra ataupun putri. Ummu Kultsum dimakamkan bersebelahan dengan saudarinya
Ruqayyah radhiallahu ‘anhuma.

DIKUTIP DARI SYARH HIKAM IBNU ATHOILAH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar